D2C (Direct-to-Consumer): Strategi Brand Lokal Biar Lebih Dekat ke Customer
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah D2C (Direct-to-Consumer) semakin sering terdengar dalam dunia bisnis dan pemasaran digital. Secara sederhana, D2C adalah model bisnis di mana brand menjual langsung kepada konsumen tanpa melalui perantara seperti marketplace atau retailer.
Alih-alih bergantung pada platform pihak ketiga, brand membangun kanal penjualan sendiri, baik melalui website resmi, aplikasi mobile, maupun social commerce.
Model ini bukan hal baru di level global. Nike, misalnya, menjadi contoh sukses transformasi D2C lewat aplikasi Nike App dan situs resminya yang kini menjadi tulang punggung penjualan global mereka. Pendekatan ini memberi Nike kendali penuh terhadap pengalaman pelanggan, mulai dari pembelian hingga loyalitas pascapenjualan.
Di Indonesia, tren serupa mulai tumbuh, terutama di sektor fashion dan beauty. Banyak brand lokal seperti Erigo, Scarlett, atau Buttonscarves kini tidak hanya mengandalkan marketplace, tetapi juga mengembangkan situs web dan aplikasi mereka sendiri untuk membangun ekosistem pelanggan yang lebih personal dan berkelanjutan.
Kenapa D2C Jadi Relevan di Indonesia?

Tren D2C semakin relevan bagi pasar Indonesia karena perubahan perilaku konsumen dan lanskap digital yang cepat. Berikut beberapa alasannya:
1. Margin Lebih Tinggi
Marketplace memang menawarkan visibilitas besar, tetapi juga memotong margin lewat biaya layanan dan promosi. Dalam model D2C, brand bisa menjaga keuntungan lebih besar karena tidak perlu membayar fee marketplace atau komisi pihak ketiga.
2. Kendali Penuh atas Branding
D2C memberi ruang bagi brand untuk mengatur citra, storytelling, dan pengalaman pelanggan secara lebih autentik. Brand tidak lagi “tenggelam” di antara kompetitor di marketplace, melainkan tampil dengan identitas yang kuat.
3. Aset Data Sendiri
Dengan menjual langsung ke pelanggan, brand memiliki database customer eksklusif, email, riwayat pembelian, preferensi, hingga perilaku pengguna. Data ini berharga untuk strategi remarketing, personalisasi promosi, dan pengembangan produk.
4. Konsumen Urban Semakin Nyaman Belanja di Situs Resmi
Generasi muda perkotaan kini lebih percaya dan nyaman bertransaksi langsung di web atau aplikasi resmi brand. Faktor seperti desain website yang menarik, keamanan transaksi, dan pengiriman cepat menjadi nilai tambah tersendiri.
Dengan semua keunggulan ini, D2C bukan sekadar tren, tetapi langkah strategis bagi brand lokal untuk naik kelas dan membangun basis pelanggan jangka panjang.
Tantangan D2C untuk Brand Lokal

Namun, membangun kanal D2C tidak semudah membuat website dan menunggu pelanggan datang. Ada beberapa tantangan nyata yang dihadapi brand lokal saat memasuki dunia D2C:
1. Investasi Teknologi dan Infrastruktur
Untuk bisa bersaing, brand perlu menyiapkan website profesional, sistem pembayaran (payment gateway), integrasi logistik, dan analitik penjualan. Semua ini membutuhkan waktu, biaya, dan keahlian teknis.
2. Persaingan Promo Marketplace
Marketplace besar seperti Shopee atau Tokopedia memiliki promo masif, gratis ongkir, cashback, dan flash sale, yang sulit ditandingi oleh brand independen. Artinya, brand D2C harus menonjol melalui value, bukan sekadar harga.
3. Tantangan Traffic & Awareness
Mendatangkan pengunjung ke website tidak terjadi secara organik. Diperlukan strategi pemasaran digital yang kuat: SEO, iklan berbayar, influencer marketing, hingga kolaborasi dengan afiliasi dan media sosial.
4. Customer Service yang Tangguh
Ketika brand berjualan langsung, seluruh tanggung jawab pengalaman pelanggan berada di tangan sendiri. Layanan pelanggan (customer service) harus responsif, ramah, dan efisien, karena satu keluhan yang tak tertangani bisa berdampak luas di media sosial.
Tantangan-tantangan ini membuat banyak brand lokal berhenti di tengah jalan. Namun, bagi yang mampu membangun fondasi kuat, hasilnya bisa luar biasa: kendali penuh, loyalitas tinggi, dan profit yang lebih sehat.
Strategi Sukses D2C untuk Brand Lokal

Agar brand lokal dapat bertahan dan berkembang dalam ekosistem D2C, dibutuhkan pendekatan yang terencana dan berkelanjutan. Berikut strategi yang bisa diterapkan:
1. Bangun Website dan Aplikasi yang User-Friendly
Pengalaman pengguna (UX) adalah kunci. Website harus mudah diakses, cepat, dan mobile-first, karena mayoritas pengguna Indonesia berbelanja lewat ponsel. Navigasi sederhana, tampilan visual menarik, dan proses checkout singkat dapat meningkatkan konversi hingga 30–40%.
2. Investasi di Content & Storytelling
Konsumen modern tidak hanya membeli produk, tapi juga membeli cerita dan nilai di balik brand. Konten yang inspiratif, video autentik, atau blog edukatif dapat memperkuat emotional connection antara brand dan pelanggan.
3. Bangun Loyalty Program
Sistem poin, keanggotaan eksklusif, atau komunitas pelanggan bisa meningkatkan retensi dan repeat order. Contoh sederhana: program referral atau cashback internal yang hanya berlaku di website resmi brand.
4. Integrasi Fulfillment
Salah satu alasan konsumen kecewa adalah pengiriman lambat atau salah produk. Di sinilah peran fulfillment seperti FAS (Fulfillment and Solutions) menjadi sangat penting. Dengan sistem gudang, picking, packing, dan pengiriman otomatis, brand bisa menjamin pengiriman cepat, akurat, dan transparan, elemen vital bagi D2C.
5. Terapkan Omnichannel Strategy
Meski fokus pada D2C, bukan berarti harus meninggalkan marketplace. Gunakan marketplace sebagai “discovery channel”, lalu arahkan pelanggan yang puas ke website resmi untuk pembelian berikutnya. Dengan cara ini, brand memanfaatkan kekuatan keduanya, visibilitas marketplace dan kendali penuh D2C.
Masa Depan D2C di Indonesia

Melihat perkembangan digital saat ini, masa depan D2C di Indonesia sangat cerah. Konsumen semakin peduli pada autentisitas, nilai sosial, dan keberlanjutan brand. Mereka ingin tahu siapa pembuat produk yang mereka beli, bagaimana prosesnya, dan nilai apa yang diusung.
D2C memberi ruang bagi brand lokal untuk menjadi lebih dari sekadar penjual, tetapi pencipta hubungan personal dengan konsumennya. Model ini juga memungkinkan brand membangun ekosistem bisnis yang mandiri, dari produksi, distribusi, hingga layanan pelanggan.
Namun demikian, penting diingat bahwa D2C bukan berarti menutup diri dari marketplace. Justru, marketplace dan D2C bisa berjalan berdampingan. Marketplace tetap berfungsi sebagai tempat memperkenalkan produk dan menjaring audiens baru, sementara D2C menjadi kanal utama untuk membangun loyalitas dan margin yang lebih sehat.
Membangun strategi D2C bukanlah langkah instan. Dibutuhkan waktu, strategi, dan partner yang memahami seluruh rantai nilai, dari pemasaran, logistik, hingga pengalaman pelanggan.
Di sinilah FAS berperan. FAS bukan sekadar penyedia gudang dan distribusi, tetapi mitra pertumbuhan (growth partner) yang siap membantu brand dalam perjalanan D2C-nya. Mulai dari strategi digital marketing, layanan pelanggan, afiliasi, hingga pengiriman cepat dan akurat, semuanya dirancang untuk mendukung skalabilitas bisnis Anda.
Jadi, jika brand Anda siap untuk naik kelas dan membangun koneksi langsung dengan konsumen, inilah saatnya beralih ke D2C bersama FAS. Hubungi Kami di WA: +628041745745. Kunjungi Website FAS dan laman sosial media kami di Instagram & TikTok FAS.