Orang Belanja Bukan Karena Butuh, Tapi Karena Ini…

Mengapa semakin modern zaman membuat orang sulit membedakan mana yang masuk kebutuhan dan keinginan? Dulu orang membeli sesuatu memang karena kebutuhan. Sekarang jelas berbeda karena orang memiliki daya impulsif keinginan akibat strategi pemasaran yang diciptakan oleh brand.
Agar tetap bisa bersaing di tengah maraknya produk sejenis dan brand kompetitor Anda wajib memahami peran strategi marketing untuk membangun persepsi bahwa sebuah produk memang “wajib dimiliki”. Bagaimana caranya? Anda yang tertarik bisa cek penjelasan lengkapnya di bawah ini!
Mengapa Banyak Orang Beli karena Brand, Bukan Karena Butuh?

Apa alasan banyak orang yang membeli sesuatu karena alasan berasal dari brand tersebut padahal bukan masuk ke dalam list kebutuhan?
1. Adanya Fenomena FOMO (Fear of Missing Out)
Adanya istilah FOMO ini terjadi karena fenomena ketakutan orang-orang ketinggalan sesuatu yang dianggap trend atau sedang berkembang (sifatnya lebih eksklusif atau terbatas) sehingga mereka menganggap bahwa perlu untuk beli produk tersebut meskipun sebenarnya bukan masuk ke dalam list kebutuhan.
Banyak orang yang belanjaannya dipengaruhi oleh orang lain bukan acuan kebutuhannya karena mengikuti apa yang sedang trend saat ini. Apalagi didukung dengan update media sosial secara real time membuat siapa saja mampu mengakses lebih mudah dan terhubung pada laman pembelian. Inilah yang membuat kegiatan FOMO itu berjalan sangat lancar bahkan berulang.
Anda yang banyak menghabiskan waktu menggeser postingan media sosial baik Instagram, Tiktok maupun X tentu akan banyak menemukan promosi yang dilakukan baik secara langsung maupun terselubung. Disitulah Anda akan dipermainkan yang awalnya tidak ingin belanja karena terpengaruh akhirnya langsung ikutan belanja agar tidak ketinggalan dengan orang lain.
Contoh: produk aksesoris boneka Labubu yang dijual dengan embel-embel edisi terbatas bahkan dibanderol dengan harga sangat mahal beberapa waktu lalu.
2. Adanya Tuntutan Status & Lifestyle Branding
Manusia memang memiliki naluri kompetitif yakni tidak mau kalah dengan orang lain sehingga mudah terpengaruh mengenai sesuatu yang berkaitan dengan status maupun lifestyle branding yang akan mereka dapatkan. Sehingga mereka dengan mudah ikut membeli apapun produk dari brand yang mampu memberikan citra status sosial tinggi dan kelas sosial yang dihormati.
Pergaulan dan perkumpulan seseorang juga sangat mempengaruhi apa yang dibeli. Banyak orang menganggap membeli barang bisa memberikan rasa aman dan bahagia apalagi untuk produk yang dicap edisi khusus. Selain itu mereka juga ingin mendapatkan kesan baik dari orang lain atau sekedar iri tidak mau kalah dengan apa yang dimiliki oleh orang lain dalam satu kelompok tersebut.
Itulah mengapa kalau ada satu orang dalam kelompok membeli barang mahal padahal tidak butuh maka dirinya juga memiliki tuntutan untuk ikut menyamai apa yang dibeli orang tersebut.
Contoh: iPhone, Starbucks, tas branded seperti Hermes, Channel dan Sneakers yang dibuat limited edition dengan harga mahal.
3. Emotional Connection dengan Brand
Salah satu strategi marketing yang banyak dilakukan brand adalah membuat story telling yang lebih relate dengan empati dari calon konsumennya. Dengan begitu calon pembeli merasa memiliki kedekatan dan visi misi yang sama dengan brand tersebut. Sehingga timbul keinginan untuk mendukung dan mensejahterakan brand agar tetap ada dengan cara membeli produknya.
Jiwa sosial masyarakat kita memang sangat tinggi termasuk mudahnya menaruh empati terkait hal-hal yang erat hubungannya dengan kemanusiaan. Hal tersebut menjadi peluang yang digunakan brand sekaligus meningkatkan citra kepercayaan mereka di mata pelanggannya.
Contoh: Brand yang mendukung sustainability dengan kemasan bisa didaur ulang seperti Love Beauty and Planet, brand yang mendukung donasi kemanusiaan dari pembelian produk seperti Pepsodent.
4. Social Proof & Influencer Effect
Era modern ini sangat membantu kita untuk menemukan lebih banyak informasi tidak hanya dari laman berita namun langsung dari influencer yang menjadi idola maupun komunitas yang terjamin kredibilitasnya. Jadi kebanyakan orang membeli produk bukan lagi karena kebutuhan namun karena ingin sama dengan idolanya.
Siapa yang saat ini tidak memiliki idola? Hampir semua orang punya idola baik artis maupun influencer yang kerap membagikan konten menarik untuk disimak. Anda tidak sadar bahwa mereka menyelipkan promosi baik secara langsung maupun terselubung mengenai produk tertentu sehingga muncul minat pada diri Anda untuk memilikinya.
Contoh: produk Glad2Glow banyak dipromosikan oleh influencer Tiktok sehingga banyak orang tertarik untuk membeli.
5. Eksklusivitas & Limited Edition
Masih berhubungan dengan FOMO selain harus mengikuti trend beberapa orang juga tidak bisa mengontrol diri membeli produk yang dilabeli dengan “ekslusif”, “limited edition” atau produk yang dibuat dengan kolaborasi khusus sehingga membuatnya lebih menarik. Sesuatu yang diberikan label terbatas memang sangat menarik dan mendorong kita agar cepat membelinya.
Label ini sudah banyak digunakan oleh brand pakaian, skincare maupun makanan diikuti dengan tanggal periode berakhir dan juga diskon khusus yang mendorong Anda untuk segera melakukan pembelian. Ketika berhasil mendapatkan produk dengan label terbatas ternyata mampu memberikan rasa kepuasan dalam diri sebagai konsumen.
Contoh: produk kolaborasi dengan karakter anime terkenal seperti Adidas x Demon Slayer atau kolaborasi makanan dengan idol Kpop dengan menawarkan photocard limited edition dalam penjualannya.
Mengenal Psikologi di Balik Keputusan Belanja

Setelah memahami alasan orang belanja karena ingin bukan karena butuh selanjutnya Anda juga perlu tahu mengenai alasan psikologi yang mempengaruhi keputusan seseorang berbelanja. Secara umum manusia memang menganggap dirinya sebagai makhluk rasional namun ternyata emosi justru menempati peran lebih besar dalam memutuskan sesuatu termasuk pembelian barang.
Banyak konsumen yang membentuk ikatan khusus dengan brand mulai dari nostalgia dan cerita yang dibentuk sehingga membuat mereka percaya bahkan melakukan pembelian secara berulang. Ketika membeli mendapatkan pengalaman positif terhadap produk yang dibeli nantinya secara otomatis mereka akan merekomendasikan dari mulut ke mulut.
Strategi inilah yang dicari oleh banyak brand untuk mendapatkan kepercayaan asli dari konsumen bukan hanya pengaruh artis maupun influencer yang cepat hilang tergerus waktu serta FOMO yang lain. Selain itu dorongan akan validasi sosial juga mampu membentuk perilaku konsumen bukan atas kebutuhan namun karena ingin membantu maupun berkontribusi ke dalam programnya.
Inilah mengapa sebuah brand penting untuk memilih tokoh khusus yang berperan sebagai brand ambassador maupun influencer yang nantinya memperkenalkan produknya. Contohnya: brand susu anak menggandeng ahli nutrisi yang menjelaskan pentingnya susu untuk perkembangan anak. Adanya tokoh yang tepat membuat sisi psikologis calon pembeli harus beli produknya.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa keputusan membeli seseorang memang tidak selalu dikaitkan dengan kebutuhan namun lebih pada kemampuan strategi branding yang dilakukan produk sehingga memunculkan pengaruh produk tersebut harus dimiliki.
Mau brand kamu juga punya daya tarik seperti ini? FAS bisa bantu bisnis kamu membangun strategi marketing yang bikin produk makin diincar, plus mengelola fulfillment-nya dengan lebih efisien! Yuk, scale up bisnis kamu bareng FAS! Hubungi Kami: 628041745745! Bisa juga meluncur ke akun Instagram fas.fulfillment.